Abstract
Javanese people nowadays refer to the bhutasamkhya system as sengkala. The bhutasamkhya system is essentially a system for symbolising numerals that refers to material elements (bhūta) that are associated with sums or calculations (saṃkhyā). The use of this numeration system spread to areas in Southeast Asia, such as in the Khmer realm, Champa, and Java. In the Old Javanese tradition, there is a kakawin work that codifies numeration within the bhutasamkhya system. The kakawin is untitled and anonymous, but is frequently referred to as the Candrabhumi. Fundamentally, the vocabulary of the Candrabhumi is sufficiently clear: each word represents a particular number, but there is no explanation of why this is the case. This deficiency was subsequently addressed by exegetical texts (one of the best known being the Katrangan Candrasengkala by R. Bratakesawa 1928). However, these exegeses basically tend towards lexicographical explanations, that are brief, concise, and reiterate what has already been expressed in the Candrabhumi itself. The focus of this paper is the epistemological frame behind the various exegetical commentaries on the Candrabhumi text. The sources used are (i) a manuscript in Buda script, National Library of Indonsia 28 L 216, originating from the Merapi-Merbabu tradition, and (ii) a manuscript in the Kirtya No. 603/IIIc/8, from the Balinese tradition. Grounded in an etic perspective on understanding each word in the Candrabhumi, it will become clear how the system produces an emic construction out of this exegesis.
***
Orang Jawa sekarang menyebut sistem bhūtasaṃkhyā sebagai sĕngkalan. Sebutan ini bersifat pars pro toto karena tidak semua sĕngkalan dalam tradisi penanggalan di Jawa dinyatakan dengan sistem bhūtasaṃkhyā. Sistem bhūtasaṃkhyā merupakan sistem simbolisasi angka dengan merujuk kepada anasir material (bhūta) yang berasosiasi kepada jumlah atau hitungan (saṃkhya). Petunjuk paling awal penggunaan sistem ini terdapat pada Yavanajātaka, sebuah karya astrologi berbahasa Sanskerta yang digubah oleh Sphujidhvada pada sekitar abad ke-2 Masehi. Penggunaan sistem numerasi ini juga menyebar ke wilayah-wilayah yang mengalami indianisasi. Sistem ini digunakan dengan sangat produktif di Asia Tenggara, seperti Khmer, Champa, dan Jawa. Walaupun demikian, penggunaan sistem ini seringkali terbatas pada penulisan angka tahun (chronogram).
Dalam tradisi sastra Jawa Kuno, terdapat sebuah karya kakawin yang mengkodifikasi numerasi dalam sistem bhutasaṃkhya. Kakawin yang tidak berjudul serta anonim itu kerap disebut sebagai Candrabhūmi. Kakawin ini dikenal luas di wilayah-wilayah yang terhubung melalui tradisi sastra Jawa Kuno, terutama di Jawa dan Bali. Kosakata dalam teks Candrabhūmi sudah cukup jelas bahwa setiap kata yang disebut mewakili angka-angka tertentu, namun tidak ada penjelasan tentang mengapa terjadi demikian? Kekosongan tersebut kemudian diisi oleh teks-teks eksegesis yang muncul kemudian (salah satu yang terkenal adalah Katrangan Candrasĕngkala karya R. Bratakesawa 1928). Akan tetapi, penjelasan eksegetik tersebut mengarah kepada penjelasan leksikografis, yang singkat, padat, dan cenderung mengulangi apa yang sudah disebutkan di dalam daftar Candrabhūmi. Di satu sisi, penjelasan itu tidak memuaskan, namun di sisi lain penjelasan itu tumbuh dari pemahaman pembaca pada zamannya.
Fokus tulisan ini adalah kerangka epistemologis di balik komentar-komentar eksegetik atas teks Candrabhūmi. Adapun sumber material yang digunakan adalah (1) naskah beraksara Buda, Perpusnas 28 L 216, yang berasal dari tradisi Merapi-Merbabu, serta (2) naskah Kirtya No. 603/IIIc/8 dari tradisi Bali. Teks eksegesis dalam kedua naskah memiliki semangat yang sama walaupun dengan variasi tekstual tetap perlu dicermati. Dengan berpijak kepada sudut pandang etik dalam memahami numerasi setiap kata dalam candrabhūmi, maka akan terlihat bagaimana sistem yang membentuk konstruksi emik dari eksegesis tersebut.
***
Orang Jawa sekarang menyebut sistem bhūtasaṃkhyā sebagai sĕngkalan. Sebutan ini bersifat pars pro toto karena tidak semua sĕngkalan dalam tradisi penanggalan di Jawa dinyatakan dengan sistem bhūtasaṃkhyā. Sistem bhūtasaṃkhyā merupakan sistem simbolisasi angka dengan merujuk kepada anasir material (bhūta) yang berasosiasi kepada jumlah atau hitungan (saṃkhya). Petunjuk paling awal penggunaan sistem ini terdapat pada Yavanajātaka, sebuah karya astrologi berbahasa Sanskerta yang digubah oleh Sphujidhvada pada sekitar abad ke-2 Masehi. Penggunaan sistem numerasi ini juga menyebar ke wilayah-wilayah yang mengalami indianisasi. Sistem ini digunakan dengan sangat produktif di Asia Tenggara, seperti Khmer, Champa, dan Jawa. Walaupun demikian, penggunaan sistem ini seringkali terbatas pada penulisan angka tahun (chronogram).
Dalam tradisi sastra Jawa Kuno, terdapat sebuah karya kakawin yang mengkodifikasi numerasi dalam sistem bhutasaṃkhya. Kakawin yang tidak berjudul serta anonim itu kerap disebut sebagai Candrabhūmi. Kakawin ini dikenal luas di wilayah-wilayah yang terhubung melalui tradisi sastra Jawa Kuno, terutama di Jawa dan Bali. Kosakata dalam teks Candrabhūmi sudah cukup jelas bahwa setiap kata yang disebut mewakili angka-angka tertentu, namun tidak ada penjelasan tentang mengapa terjadi demikian? Kekosongan tersebut kemudian diisi oleh teks-teks eksegesis yang muncul kemudian (salah satu yang terkenal adalah Katrangan Candrasĕngkala karya R. Bratakesawa 1928). Akan tetapi, penjelasan eksegetik tersebut mengarah kepada penjelasan leksikografis, yang singkat, padat, dan cenderung mengulangi apa yang sudah disebutkan di dalam daftar Candrabhūmi. Di satu sisi, penjelasan itu tidak memuaskan, namun di sisi lain penjelasan itu tumbuh dari pemahaman pembaca pada zamannya.
Fokus tulisan ini adalah kerangka epistemologis di balik komentar-komentar eksegetik atas teks Candrabhūmi. Adapun sumber material yang digunakan adalah (1) naskah beraksara Buda, Perpusnas 28 L 216, yang berasal dari tradisi Merapi-Merbabu, serta (2) naskah Kirtya No. 603/IIIc/8 dari tradisi Bali. Teks eksegesis dalam kedua naskah memiliki semangat yang sama walaupun dengan variasi tekstual tetap perlu dicermati. Dengan berpijak kepada sudut pandang etik dalam memahami numerasi setiap kata dalam candrabhūmi, maka akan terlihat bagaimana sistem yang membentuk konstruksi emik dari eksegesis tersebut.
Original language | English |
---|---|
Publication status | Published - 31 Jul 2024 |
Event | The International Convention of Asia Scholars - Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia Duration: 28 Jul 2024 → 1 Aug 2024 Conference number: 13 https://icas.asia/icas-13 |
Conference
Conference | The International Convention of Asia Scholars |
---|---|
Abbreviated title | ICAS |
Country/Territory | Indonesia |
City | Surabaya |
Period | 28/07/24 → 1/08/24 |
Internet address |
Keywords
- bhūtasaṃkhyā
- old javanese
- candrabhūmi
- exegesis
- emic
- etic