Abstract
When Indonesia faced with "the concussion" to welcome the Asean Economic Community (AEC), the Bahasa Indonesia was also withdrawn as an identity marker. However, how will be happen with other languages which shaded by a political concept called "Indonesia"? If we talk about the national identity, it means that we should see its historical aspects. The history of Indonesian nationality cannot be separated from the existence of ethnic groups where live inside. Every ethnicity has each culture valuable which basically enriches the culture of Indonesia. It means that Indonesian identity was also historically constructed and determined by the cultural mosaic of ethnic groups that exist. This paper will discuss the position of Bahasa Indonesia viz-a-viz the ethnic language in Indonesia. The jargon “Bahasa Indonesian sebagai bahasa persatuan” (Bahasa Indonesia as the unity language) which has been echoed since 1928 and then institutionalized as the state language through Undang-undang Dasar 1945, often put Bahasa Indonesia in a dilemma. At least, there are two possibilities regarding this matter. First, Bahasa Indonesia taught in formal educational institutions can undermine the existence of ethnic languages. Secondly, Bahasa Indonesia can support the existence of Indonesian ethnic languages. The first possibility is not beneficial certainly, even for Bahasa Indonesia itself, while the second possibility require the special strategies to enable the synergy between the two. Bahasa Indonesia as medium played to broadening any ethnic discourses which originally conveyed by the respective local languages. Bahasa Indonesia can be echoing any local and ethnicity discourses into national and global arena.
Ketika bangsa Indonesia dihadapkan pada “gegar” menyambut Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), maka bahasa Indonesia juga turut ditarik sebagai penanda identitas. Namun demikian, bagaimana nasib bahasa-bahasa lain yang dinaungi oleh sebuah konsep politik yang bernama “Indonesia” itu? Berbicara soal identitas suatu bangsa artinya harus melihat aspek historisnya. Sejarah kebangsaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari eksistensi etnis-etnis yang bernaung di bawah payungnya. Setiap etnis memiliki khasanah budaya masing-masing yang pada dasarnya memperkaya khasanah budaya Indonesia. Artinya, identitas bangsa Indonesia juga dibangun dan ditentukan secara historis oleh mozaik budaya etnis-etnis yang ada. Tulisan ini akan membahas posisi bahasa Indoensia viz-a-viz bahasa etnis yang ada di Indonesia. Jargon tentang bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang didengungkan sejak 1928 dan dilembagakan sebagai bahasa negara melalui Undang-undang Dasar 1945 sering menempatkan bahasa Indonesia dalam posisi dilematis. Setidaknya ada dua kemungkinan menyangkut hal tersebut. Pertama, bahasa Indoenesia yang diajarkan di lembaga pendidikan formal bisa menggerus eksistensi bahasa-bahasa etnis. Kedua, bahasa Indonesia menyokong eksistensi bahasa-bahasa etnis yang bersangkutkan. Kemungkinan yang pertama tentu tidak menguntungkan, bahkan untuk bahasa Indonesia sendiri, sementara kemungkinan yang kedua memerlukan strategi khusus agar terjadi sinergi di antara keduanya. Bahasa Indonesia diperankan sebagai bahasa medium penyebarluaskan wacana-wacana etnis yang awalnya dikemas dengan bahasa lokal masing-masing. Bahasa Indonesia bisa menyuarakan kembali wacana-wacana lokal dan etnisitas dalam kancah nasional maupun global.
Ketika bangsa Indonesia dihadapkan pada “gegar” menyambut Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), maka bahasa Indonesia juga turut ditarik sebagai penanda identitas. Namun demikian, bagaimana nasib bahasa-bahasa lain yang dinaungi oleh sebuah konsep politik yang bernama “Indonesia” itu? Berbicara soal identitas suatu bangsa artinya harus melihat aspek historisnya. Sejarah kebangsaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari eksistensi etnis-etnis yang bernaung di bawah payungnya. Setiap etnis memiliki khasanah budaya masing-masing yang pada dasarnya memperkaya khasanah budaya Indonesia. Artinya, identitas bangsa Indonesia juga dibangun dan ditentukan secara historis oleh mozaik budaya etnis-etnis yang ada. Tulisan ini akan membahas posisi bahasa Indoensia viz-a-viz bahasa etnis yang ada di Indonesia. Jargon tentang bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang didengungkan sejak 1928 dan dilembagakan sebagai bahasa negara melalui Undang-undang Dasar 1945 sering menempatkan bahasa Indonesia dalam posisi dilematis. Setidaknya ada dua kemungkinan menyangkut hal tersebut. Pertama, bahasa Indoenesia yang diajarkan di lembaga pendidikan formal bisa menggerus eksistensi bahasa-bahasa etnis. Kedua, bahasa Indonesia menyokong eksistensi bahasa-bahasa etnis yang bersangkutkan. Kemungkinan yang pertama tentu tidak menguntungkan, bahkan untuk bahasa Indonesia sendiri, sementara kemungkinan yang kedua memerlukan strategi khusus agar terjadi sinergi di antara keduanya. Bahasa Indonesia diperankan sebagai bahasa medium penyebarluaskan wacana-wacana etnis yang awalnya dikemas dengan bahasa lokal masing-masing. Bahasa Indonesia bisa menyuarakan kembali wacana-wacana lokal dan etnisitas dalam kancah nasional maupun global.
Translated title of the contribution | Bahasa Indonesia as the Medium of Ethnic Discourses and Locality Broadening |
---|---|
Original language | Indonesian |
Title of host publication | Kebersamaan dalam Keragaman ASEAN |
Subtitle of host publication | Perspektif Bahasa dan Sastra |
Editors | Suhandono , Sudibyo , Saeful Anwar |
Place of Publication | Yogyakarta |
Publisher | Jurusan Sastra Indonesia UGM, Prodi S2 Ilmu Linguistik UGM, INCULS, ASALS |
Pages | 175--187 |
Number of pages | 13 |
ISBN (Print) | 978-602-72858-1-1 |
Publication status | Published - Aug 2015 |
Keywords
- identity
- national language
- ethnic language
- ethnical discourse