Dewan Kesenian Jawa Timur

Press/Media

Period1 Aug 2021 → 8 Jan 2022

Media contributions

2

Media contributions

  • TitleHaruskah Dewan Kesenian menjadi Dewan Kebudayaan?
    Degree of recognitionNational
    Media name/outletDewan Kesenian Jawa Timur
    Media typeWeb
    Duration/Length/Size9 paragraphs
    Country/TerritoryIndonesia
    Date8/01/22
    DescriptionAmanat dari UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sudah cukup jelas: menyelenggarakan upaya-upaya pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan terhadap 10 objek pemajuan kebudayaan. UU ini pun secara spesifik juga diperinci dengan lahirnya PP 87/2021 sebagai Peraturan Pelaksanaan. Di dalam PP, muncul isu yang mengemuka yakni kelembagaan kebudayaan yang dibagi dalam berbagai tingkatan yakni lembaga, pranata, sampai dengan sumber daya manusia. Pertanyaan publik terkait dengan implementasi pemajuan kebudayaan terjawab, kendati menyisakan pertanyaan bagaimana nasib lembaga Dewan Kesenian yang telah terlebih dahulu berdiri melalui Instruksi Mendagri 5A/1993?

    Dewan Kesenian Jawa Timur, yang berdiri sejak 19 Februari 1998 merupakan lembaga yang terkena imbas dari keberadaan peraturan ini. Relevansi lembaga dipertanyakan, ketika dihadapkan bahwa realitas di daerah lain seperti Daerah Istimewa Yogyakarta mengubah Dewan Kesenian menjadi Dewan Kebudayaan dengan tentunya lingkup kerja yang lebih luas atau DKI Jakarta yang tetap bertahan dengan Dewan Kesenian namun diperkuat dengan Perda yang cukup jelas mengatur berbagai hal termasuk penganggaran. Kedua lembaga ini merupakan contoh yang dapat dijadikan benchmark bagi daerah lain di Indonesia.

    Dengan berbagai pengkhususan bahwa kedua daerah ini merupakan daerah khusus dan istimewa yang secara penuh mendapat dukungan dari pemerintah dengan perhatian yang luar biasa dalam bidang kebudayaan maupun dari segi akses anggaran, perlu untuk dicatat bahwa di Jawa Timur kondisi jauh berbeda dengan kondisi yang dapat dikatakan terdapat suatu love-hate relationship. Pertama, profesi-profesi yang disebutkan berikut: budayawan, seniman, beserta seluruh pegiat dan penggerak budaya dan kesenian; sangat rentan untuk dijadikan kendaraan elektoral dan basis-basis massa. Kondisi ini perlu diwaspadai dalam ruang lingkup kepentingan kebudayaan dan seni hanya ditarik-ulur demi memenuhi kepentingan pragmatis penguasa. Konsekuensinya seniman baik yang terlembaga dalam DK atau yang tidak hanya sebatas mengekor atau yes-man untuk memuluskan segala kebijakan strategis pemerintahan daerah terkait kebudayaan dan seni.

    Kedua, terdapat anggapan yang berkembang di dalam berbagai stakeholder bahwa menjadi anggota DK secara pribadi merupakan sarana portofolio untuk membuat akses ketenaran dalam berkarya di tengah-tengah masyarakat apa pun bentuknya, atau sekadar mendapatkan akses terhadap pengakuan sekaligus relasi politik dengan penguasa. Konsekuensinya, beberapa DK menempatkan diri sebagai oposisi pemerintahan daerah yang seolah tajam dan kritis dari segala tindak-tanduk yang dilakukan oleh penguasa. Hal ini juga dilakukan untuk mendapatkan akses pendanaan yang membuat seniman, budayawan beserta penggiat dan penggerak tidak independen dan lebih parahnya menjadi duafa kebudayaan.

    Himpitan kondisi ini mengakibatkan DKJT sebagai lembaga berpotensi masuk salah satu dalam tiga skenario berikut: (1) Kemunculan Perpres 65/2018, yang berpotensi menggeser peran DK dengan Tim Penyusun PPKD sebagai lembaga permanen akibat di-SK-kan kepala daerah tanpa batas waktu; (2) Antara likuidasi kemudian digantikan Dewan Kebudayaan atau berdiri bersama-sama atau berbagi nasib dengan Dewan Kebudayaan dengan risiko reduksi terhadap arti dan peran dari DK; (3) Kondisi yang mungkin saja terjadi secara umum pada saat ini di berbagai daerah di Jatim dengan DK: DK tidak diakui pemerintah, tidak bubar namun bernasib seperti gerilyawan seni.

    Belum gamblangnya definisi dari DK maupun Dewan Kebudayaan dalam perannya menangani upaya-upaya pemajuan kebudayaan akibat keliaran dan kesempitan tafsir (overinterpretation dan underinterpretation), masih ada lagi kendala konsolidasi dan resiliensi antar seniman. Perjuangan nasib seniman mudah sekali dipatahkan oleh fragmentasi dan segregasi yang dilakukan penguasa yang tuna-kesenian sekaligus tuna makna kesenian karena tidak dapat se-iya sekata. Alih-alih mengangkat nilai-nilai pluralisme dan diversitas dalam aneka seni, budaya, sekaligus kelembagaannya, seniman terkotak-kotak dan kerap diadu domba dan bahkan mengadu dirinya sendiri dalam kepentingan yang bersifat ego sektoral.

    Ke depan, DKJT masih memiliki kesempatan untuk menunaikan imperatif historis atau tugas kesejarahan senyampang masih punya daya/kuasa mengingat belum ada wacana mengemuka pada pembentukan Dewan Kebudayaan di tingkat Provinsi. Persoalan-persoalan di atas perlu jawaban konkret yang juga bersifat sapu jagat: kelahiran suatu Perda Penyelenggaraan (atau istilah lain seperti Tata Kelola) Kesenian Jawa Timur yang dapat mengatur pemberdayaan, penguatan, dan pengarusutamaan demi ketahanan peran dan fungsi dari Dewan Kesenian Jawa Timur dalam amanah yang diberikan dalam UU 5/2017 dan PP 87/2021. Dalam sekali jalan, Perda ini juga dapat memberikan posisi yang jelas pada DKJT sekaligus memberikan penguatan kelembagaan secara berkelanjutan dalam penyelenggaraan kesenian di Jawa Timur.

    Di dalam Perda ini terdapat beberapa hal yang dapat diatur terkait letak DKJT sebagai: (1) Mitra kerja pemerintah dalam merumuskan kebijakan strategis di bidang kesenian; (2) Advokat kesenian Jawa Timur yang dapat membela dan memberikan dukungan kepada pemerintah dan masyarakat kesenian maupun masyarakat luas; dan (3) Mediator dari berbagai pemangku kepentingan untuk menguatkan atmosfer dan ekosistem kesenian Jawa Timur yang kondusif dan inklusif. Dengan ini, dapat pula ditambahkan bab-bab mengenai penguatan dan peningkatan ketangguhan DKJT. Dengan demikian, regulasi yang dibentuk dapat menjadi modal mempertahankan dan membuat kelembagaan kesenian berlanjut di tengah tren global memasuki era regulasi dan hak kekayaan intelektual.

    Akhir kata, tawaran-tawaran DKJT dalam rancangan Perda Penyelenggaraan Kesenian dapat menghadirkan kepastian orientasi kesenian di masa depan dan menghindarkan geliat seni di Jawa Timur dari wadah tunggal yang berpotensi monopoli, hegemoni, dan oligarki kebudayaan untuk menangani segala urusan pemajuan kebudayaan. Hal-hal yang kemudian menyebabkan UU Pemajuan Kebudayaan tidak memerintahkan dan memandatkan pembentukan Dewan Kebudayaan Nasional maupun Daerah.

    * Disarikan dari pandangan Prof. Djoko Saryono, anggota Majelis Pertimbangan Organisasi DKJT terkait usulan inisiatif rancangan Perda Kelembagaan Budaya/Seni di Provinsi Jawa Timur.
    Producer/AuthorProbo Darono Yakti
    PersonsProbo Darono Yakti
  • TitleQuo Vadis UU Pemajuan Kebudayaan?
    Degree of recognitionNational
    Media name/outletDewan Kesenian Jawa Timur
    Media typeWeb
    Duration/Length/Size9 paragraphs
    Country/TerritoryIndonesia
    Date1/08/21
    DescriptionKekayaan khazanah budaya yang dimiliki Indonesia sangat beragam nan adiluhung, sehingga perlu ditopang dengan keberadaan sebuah Undang-undang yang dapat memberikan ruang pada pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan. Sejak 24 Mei 2017, Indonesia memiliki sebuah landasan aturan berupa Undang-undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (UUPK). Inti sari yang termaktub dalam UUPK adalah bagaimana melaksanakan amanat pasal 32 ayat (1) UUD 1945 yang memberikan upaya pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan terhadap objek-objek pemajuan kebudayaan (OPK). Adapun sepuluh OPK antara lain adat istiadat, bahasa, manuskrip, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, permainan rakyat, ritus, seni, teknologi tradisional, dan tradisi lisan.

    Empat tahun sejak UUPK diketok palu pertanyaan bermunculan terkait sejauh mana regulasi di dalamnya dilaksanakan secara konsekuen dan bagaimana secara teknis dapat dijabarkan. Lembaga-lembaga kebudayaan, dan lembaga yang menaungi kesenian secara spesifik sebagai salah satu stakeholder kunci juga masih meninjau dalam bentuk apa keterlibatan mereka ke depan. Salah satu yang menunggu-nunggu adalah Dewan Kesenian yang telah berdiri di sejumlah provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia berdasar Instruksi Mendagri No. 5A Tahun 1993. Keberadaan UUPK yang masih belum spesifik mengatur keterlibatan lembaga-lembaga bentukan pemerintah tersebut membuat pemerintah daerah membuat “trik” dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) di samping SK Kepengurusan yang ditandatangani oleh Kepala Daerah sesaat setelah Musyawarah Kepengurusan diakui.

    Praktik-praktik UUPK

    Keberadaan Dewan Kesenian tidak selalu didukung oleh pemerintah daerah setempat, sehingga perlu untuk melihat daerah-daerah yang melaksanakan praktik baik Dewan Kesenian sebagai lembaga. Pertama, Provinsi DKI Jakarta menjadi salah satu daerah yang menerbitkan aturan mengenai Dewan Kesenian melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 4 tahun 2020 tentang Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta. Keberadaan aturan ini membuat Dewan Kesenian diakui secara institusional menjadi pemberi masukan kepada Gubernur bagi kegiatan pembinaan dan pengembangan kesenian yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Uniknya, dari fungsi spesifik Dewan Kesenian Jakarta yang disebut dalam Pergub tersebut tidak mencantumkan keberadaan UUPK sebagai acuan sebagaimana seni hanyalah satu OPK.

    Kedua, Provinsi DI Yogyakarta dengan Dewan Kebudayaan diatur dengan Peraturan Gubernur DI Yogyakarta No. 2 Tahun 2019 tentang Dewan Kebudayaan. Format kedua ini berbeda dengan DKI Jakarta, dengan tugas mempunyai tugas memberikan rekomendasi kepada Gubernur dalam hal kebijakan pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan DIY. Diksi yang digunakan oleh model DIY lebih kepada kebudayaan secara umum sesuai yang tercantum dalam UUD 1945. Lagi-lagi, UUPK juga tidak dijadikan acuan aturan dalam menyusun Pergub kendati secara garis waktu terdapat selang dua tahun di antara terbitnya Pergub DIY tentang Dewan Kebudayaan dan UUPK. Sebaliknya atas dasar otonomi yang lebih luas dalam UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY, Gubernur membagi lingkup kerja menjadi pertimbangan dan kuratorial kebudayaan.

    Peran Pranata dan Lembaga Kebudayaan

    Selain problem tidak sinkronnya UUPK dapat diturunkan ke Peraturan yang terbit di daerah terutama terkait dengan keberadaan institusi yang dapat secara proaktif memberikan masukan kepada pemerintah

    daerah, muncul satu kegamangan ketika berbicara mengenai perbedaan antara lembaga dan pranata kebudayaan seperti yang disebutkan dalam Permendagri No. 90 Tahun 2019. Definisi yang dicantumkan dalam UUPK tidak cukup merepresentasikan dengan baik perbedaan antara keduanya sehingga sulit untuk memetakan. Ambiguitas letak Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan dalam praktik Pemajuan Kebudayaan di daerah juga bergantung pada perhatian ataupun prioritas pemerintahan daerah setempat terhadap lingkup budaya dan seni. Jawa Timur menjadi salah satu contoh kecil dari sekian banyak daerah dengan kekayaan khazanah kebudayaan yang perlu melakukan pemetaan terhadap pranata dan lembaga kebudayaan yang berkembang di masyarakat.

    Lembaga kebudayaan yang tersebar di Jawa Timur cukup beragam, sehingga menjadi problem menahun bagi pemerintah provinsi Jawa Timur dalam melakukan program fasilitasi, hibah, tali asih, dan program-program lain yang dapat diakses. Beberapa lembaga telah berstatus badan hukum yang memiliki legalitas berupa akta notaris, sedangkan selebihnya masih berupa komunitas, perkumpulan, atau solidaritas informal yang secara alamiah terbentuk dari masyarakat akar rumput di daerah. Selain fasilitasi, menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk melakukan pemetaan terhadap subjek-subjek kebudayaan yang menjadi ujung tombak bagi implementasi UU ini.

    Peraturan Turunan Diperlukan

    Dari masalah-masalah yang ada, problematika UUPK mengerucut pada kealpaan aturan turunan. Belum terdapatnya Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang mengatur secara detail implementasi dari UU ini membuat definisi sampai pada pelaksanaan secara teknis belum jelas. Selain itu masih terdapat aturan-aturan yang tumpang tindih misalkan wewenang lembaga-lembaga yang memiliki keterkaitan dengan pemajuan kebudayaan misalkan Organisasi Kemasyarakatan yang diatur dalam UU No. 16 tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 serta Lembaga Adat Desa yang diatur dalam Peraturan Mendagri No. 18 Tahun 2018.

    Kejelasan posisi lembaga-lembaga kebudayaan, termasuk di dalamnya Dewan Kesenian perlu dijelaskan ulang baik dari segi definisi maupun peranan dalam kaitannya dengan upaya-upaya pemajuan kebudayaan di daerah sebagaimana yang tercantum dalam UUPK. Selain itu, ruang lingkup kesenian yang menjadi sempit dalam kerangka OPK juga perlu dilakukan sinkronisasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah agar tidak terjadi tumpang tindih kepentingan dalam praktiknya. Tentu menjadi sebuah refleksi bahwa urusan mengenai kebudayaan beserta seluruh stakeholder di dalamnya, adalah hal yang urgen untuk diperhatikan ketimbang sekadar digunakan sebagai alat perolehan suara dalam Pemilu. Semoga.
    Producer/AuthorProbo Darono Yakti
    PersonsProbo Darono Yakti