Period14 Dec 2022 → 7 Oct 2023

Media contributions

2

Media contributions

  • TitlePekerjaan Panglima Di HUT TNI
    Media name/outletCakrawarta.com
    Media typeWeb
    Country/TerritoryIndonesia
    Date7/10/23
    DescriptionTentara Nasional Indonesia (TNI) merayakan hari ulang tahunnya pada 5 Oktober 2023. Dengan semangat jargon HUT tahun ini yakni: “TNI Patriot NKRI: Pengawal Demokrasi untuk Indonesia Maju”, TNI bertekad untuk menjaga marwah dan semangat demokrasi dalam mengawal kemajuan dari Indonesia. Sejak kehadiran UU TNI pada tahun 2003 yang senafas dengan institusi bermarkas di Cilangkap tersebut, TNI terus menunjukkan peran sentral dalam pembangunan nasional dan menjaga stabilitas politik, dengan koridor patriotisme dan nasionalisme.

    Namun dari sekian banyak isu yang dihadapi sejauh ini, TNI memiliki beberapa pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan. Pertama, TNI harus memperbarui Minimum Essential Forces (MEF) dalam penyusunan rencana pengadaan alutsista-alutsistanya yang berakhir pada tahun 2024. Terlepas dari banyaknya pemesanan yang dibuat oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto terhadap 42 pesawat Rafale dari Prancis yang didahului dengan 12 pesawat bekas Mirage 2000-5. Perencanaan yang ke depan harus dipikirkan adalah menyeimbangkan antara berapa persen pembelian dari pihak asing, dan berapa persen yang kemudian dibeli dari industri-industri pertahanan dan strategis dalam negeri baik BUMN maupun swasta.

    Tidak hanya itu, tren melalui pembentukan holding BUMN DEFEND.ID dan Komite Kebijakan Industri Pertahanan selayaknya tidak hanya dipandang sebagai upaya untuk sinkronisasi kebijakan lintas sektoral yang melibatkan perusahaan milik negara dan pemerintah. Akan tetapi menjadi sentral dari segala aktivitas industri pertahanan sekaligus memetakan kebutuhan dari alutsista yang bisa diproduksi sendiri di dalam negeri. Pada akhirnya, ketergantungan untuk memenuhi amunisi dan persenjataan dapat ditopang secara bersama-sama yang menjadi tanggung jawab dari Menteri Pertahanan, Menteri BUMN, dan seluruh pemangku kepentingan yang ada.

    Kedua, meninjau kembali lingkungan strategis dan merevisi strategi pertahanan. Ancaman terus berubah, termasuk pemosisian Indonesia dalam melihat berbagai konflik antar negara yang terjadi di berbagai kawasan. Adapun kawasan-kawasan yang perlu senantiasa dipantau dan diawasi serta dievaluasi situasi dan kondisinya secara rutin antara lain Laut Cina Selatan, Samudra Pasifik dan Hindia, termasuk kemudian tidak melepas mata dari Papua Nugini dan Malaysia yang kerap melontar persoalan-persoalan yang mencoba mengacaukan stabilitas keamanan dari dalam negeri. Dalam hal ini memperkuat pos lintas batas negara disertai dengan pos komando pasukan perbatasan menjadi prioritas utama.

    Menarik untuk melihat kembali upaya yang dilakukan oleh Panglima TNI sebelumnya, Jenderal Andika Perkasa yang memanfaatkan anggaran Mabes TNI untuk merenovasi posko-posko yang hanya berbentuk bangunan sederhana dan ala kadarnya. Kontinuitas sangat diperlukan, terutama meminimalkan kasus-kasus rawan yang kerap terjadi. Pada perbatasan dengan Malaysia terjadi pemindahan tapal batas atau seperti di Papua Nugini dimana sumber dari senjata-senjata ilegal sebagian besar berasal dari arah salah satu tetangga yang ikut dalam Pacific Islands Forum ini.

    Ketiga, persoalan Strategi Pertahanan Nusantara (SPN) yang secara terintegrasi menggabungkan aspek matra darat, laut, dan udara dalam rangka menangkal berbagai ancaman dari luar negeri. SPN setidak-tidaknya menjadi strategi yang ditransformasikan dari konsepsi Hankamrata yang telah ada sejak Panglima Besar Jenderal Sudirman dan dibukukan secara sistematis oleh Jenderal Besar AH Nasution. Namun perlu untuk melihat lagi kecukupan dari tiga matra, karena sejauh ini dominasi dari angkatan darat ditinjau dari postur terlalu dominan. Dari berbagai macam ancaman yang ada, seperti banyak pesawat masuk tanpa izin di wilayah udara Indonesia. Belum lagi kemampuan deteksi dini dari kapal-kapal asing baik sipil maupun militer termasuk kapal selam yang melewati perairan Indonesia tanpa izin, sebagaimana yang telah diatur bahwa perairan arsipelago merupakan wilayah kedaulatan berdasar UNCLOS 1982. Janji politik dari Presiden yang terlontar pada Pemilu 2014 yang akan memperkuat AU dengan pesawat nirawak pun masih terbersit dalam benak khalayak pengamat pertahanan.

    Terakhir, TNI harus menunjukkan suatu sikap kepeloporan dalam berbagai bidang yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Fungsi pembinaan teritorial di dalam tubuh TNI, dapat dimanfaatkan sebaik mungkin. Penulis sendiri pernah ikut berpartisipasi sebagai salah satu juri dari Brawijaya Awards yang digagas oleh Kodam V/Brawijaya dan Harian DISway. Dalam kegiatan penghargaan tersebut, dicari Bintara Pembina Desa Babinsa-Babinsa inspiratif, yang memiliki legasi kegiatan atau program khas yang memiliki impak yang khusus pada masyarakat.

    Ide out-of-the-box dari Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Farid Makruf, MA ini dapat diteruskan misalkan ke dalam fungsi Babinpotmar dan Babinpotdirga di AL dan AU. Mengingat fungsi pembinaan teritorial seorang bintara yang ditugaskan tidak hanya menghadiri secara seremonial dalam kegiatan-kegiatan di desa/kelurahan, namun memberikan gagasan dan terobosan brilian untuk ikut serta dalam pembangunan desa. Tentu faktor terakhir ini menjadi salah satu upaya untuk tetap menjadikan TNI sebagai tiga besar institusi yang dipercaya oleh masyarakat sebagaimana dilansir dari survei yang dilakukan oleh salah satu media nasional terkemuka.

    Akhir kata, TNI memiliki persoalan besar dalam pengelolaannya ke depan yang tentu tidak semudah membuat rencana induk baru yang memperbarui Minimum Essential Forces (MEF). Akan tetapi, perluasan fungsi dan reformasi TNI tentu menjadi semangat utama dari perayaan HUT yang pada tahun ini mengusung tema “TNI Patriot NKRI: Pengawal Demokrasi untuk Indonesia Maju.” Slogan ini hanya sebatas jargon belaka apabila tidak dibekali dengan dukungan konkret berbagai pihak: mulai dari masyarakat hingga pemerintah yang bisa mengawal dengan kepercayaan serta anggaran untuk tetap mempertontonkan suatu institusi militer yang modern dan mengikuti arus demokratisasi di negeri Indonesia. Dirgahayu TNI.
    Producer/AuthorProbo Darono Yakti
    PersonsProbo Darono Yakti
  • TitleMengingat Hari Nusantara
    Degree of recognitionNational
    Media name/outletCakrawarta.com
    Media typeWeb
    Duration/Length/Size800 words
    Country/TerritoryIndonesia
    Date14/12/22
    DescriptionTepat enam puluh lima tahun yang lalu, di Jakarta terdapat satu peristiwa bersejarah yang mungkin luput diperingati oleh khalayak. Hari itu adalah Hari Nusantara, yang berawal dari suatu deklarasi penting Indonesia di depan mata dunia internasional. Ialah Ir. Djuanda Kartawidjaja sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia yang pada waktu itu mengungkapkan tiga poin penting dalam pernyataannya. Pertama, bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri. Kedua, bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan. Ketiga, ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia. Pernyataan dari alumnus Tecnische Hogeschool Bandung (sekarang ITB) ini
    memberikan penegasan bahwa Indonesia memiliki distingsi posisi dengan negara-negara yang memiliki sifat kontinental dan coastal.

    Berawal Dari Tembakan Meriam

    Sebelumnya, Indonesia yang dulunya Hindia Belanda hanya berpedoman pada Teritoriale Zeeen Maritieme Kringen-Ordonantie (TZMKO) atau ordonansi hukum teritorial laut. Hukum ini menentukan bahwa perairan Nusantara hanya sejauh 3 mil laut dari garis pantai. Penentuan ini pun diukur berdasarkan jarak tembakan maksimal yang dapat dilakukan dengan meriam benteng pantai (shore batteries) dan kapal perang. Artinya, dengan adanya 3 mil laut garis pantai untaian pulau yang dimiliki Indonesia sampai dengan lebih dari 17.000 hanyalah merupakan Zamrud Khatulistiwa. Paradigma yang terbentuk adalah laut sebagai pemisah alih-alih sebagai penghubung.

    Aturan TZMKO sangat merugikan Indonesia, di kala innocent passage tidak dipantau oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga membebaskan tiap kapal asing untuk bebas melewati perairan di tengah-tengah kepulauan Nusantara. Untuk itu, Deklarasi Juanda memberikan satu tonggak besar sejarah Indonesia dalam dua poin besar. Pertama, ia mengariskan khazanah geopolitik Indonesia sebagai negara bahari dari sebuah corak strategic culture sebagai negara yang superior dalam perjuanganperjuangan yang bersifat land-centric dalam pembentukan negara-bangsa. Lebih lanjut, ia menggariskan konsepsi yang secara psikologis merupakan kesatuan variabel tidak terpisahkan dalam ekologi: tanah dan air. Kedua, Deklarasi Juanda memberikan ruang terbuka untuk para pemikir dan diplomat Indonesia untuk memperjuangkan wilayah yang semestinya dapat dikuasai secara efektif
    oleh pemerintah sebagai wilayah berdaulat (sovereignty).

    Deklarasi Juanda kemudian mengakui secara sepihak bahwa perairan teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil laut menjadi 12 mil laut. Sebagai konsekuensinya, perairan yang ada di tengahtengah Indonesia menjadi terapit secara rapat dan dengan demikian Indonesia dapat menguasai secara efektif segala sumber daya alam yang dimiliki di dalamnya dan bebas melayarkan kapal. Seiring dengan Deklarasi Juanda, Indonesia juga memiliki komitmen yang kuat untuk mempertangguh kapasitas Angkatan Lautnya dengan melancarkan perlawanan ke Belanda untuk merebut Irian Barat maupun berkonfrontasi dengan Malaysia.

    Negara Arsipelago di Meja Diplomasi

    Pasca Deklarasi Juanda, muncul negosiator ulung sekaliber Mochtar Kusumaaatmaja dan Hasjim Djala yang semulanya merupakan diplomat muda Departemen Luar Negeri. Keduanya konsisten memperjuangkan posisi Indonesia di mata rancangan hukum laut internasional. Sejak UNCLOS I pada 1958, UNCLOS II pada 1960, dan UNCLOS III pada 1973, Indonesia di sela pertemuan-pertemuan tersebut aktif melobi negara-negara yang sekiranya memiliki posisi yang sama denan Indonesia sebagai negara dengan karakteristik geografisnya berupa kepulauan. Perjuangan tidak sia-sia, karena tercapai naskah final dari Hukum Laut Internasional yang diratifikasi hampir seluruh belahan dunia dan memberikan baik kognisi politis maupun batas fisik wilayah. Legasi perjuangan diplomasi ini pun masih diteruskan dengan posisi Indonesia diperhitungkan melalui perwakilan-perwakilan yang
    ditempatkan dalam International Maritime Organization (IMO) yang bermarkas di Inggris.

    Perjuangan pun tidak mudah, karena di dalam UNCLOS I di Jenewa, Swiss pada Februari gagasan Indonesia diprotes keras oleh Amerika Serikat (AS) yang menjadi sponsor PRRI/PERMESTA pada tahun yang sama ketika Deklarasi Juanda dikumandangkan. Simpati pun berdatangan dari Gerakan Non Blok (GNB) untuk menempuh upaya Indonesia sekaligus mengimbangi negeri Paman Sam. Pada UNCLOS II di April 1960, AS dan beberapa negara maju seperti Inggris menolak batas laut 12 mil. Delegasi Indonesia tetap kukuh mempertahankan argumennya.

    Tidak cukup fokus pada meja perundingan, di waktu yang bersamaan secara domestik Indonesia juga membentuk landasan hukumnya secara fundamental pasca UNCLOS II. Beberapa di antaranya dengan menerbitkan UU/Prp No. 4 Tahun 1960 dan diperkuat kembali dengan PP Nomor 8 Tahun 1962 pada 25 Juli 1962 yang meregulasi lalu lintas laut damai bagi kapal-kapal asing yang melintas di dalam perairan Indonesia, serta Keppres Nomor 103 Tahun 1963 yang menetapkan seluruh perairan Indonesia sebagai satu kesatuanlaut yang ada di bawah pengawasan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Artinya, pengakuan hukum nasional diimplementasikan terlebih dahulu sebelum konsensus dunia internasional disepakati.

    Dilema “Poros Maritim Dunia”

    Kelanjutan dari Hari Nusantara yang ditetapkan peringatannya oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini hanya cukup menjadi kenangan indah di kala Indonesia kerap “memunggungi laut” sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada saat deklarasi kemenangannya di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta pada 13 Juli 2014 lalu. Indonesia telah mendeklarasikan diri sebagai Poros Maritim Dunia, terlepas dari berbagai masalah yang melingkupi topik luas di bidang kemaritiman: sengketa Laut Tiongkok Selatan, Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing, dan deretan persoalan lainnya.

    Maka pertanyaan penting yang harus dijawab berikutnya: apakah Nusantara warisan negara arsipelago Sriwijaya dan Majapahit hanya sesempit dengan memaknainya sebagai nama bagi ibu kota baru Indonesia?
    Producer/AuthorGagasan
    PersonsProbo Darono Yakti