Description
Climate change is a global issue that is facing us. The trigger no longer comes from nature, but rather human activity after the Industrial Revolution at the end of the 18th century. Carbon dioxide (CO2) emissions are occurring excessively, while the rate of deforestation is also getting out of control. We need forests and their trees to protect the earth from global warming due to the greenhouse effect. Apart from that, they also have supported human basic needs for oxygen (O2) and water (H20). That is why trees always have a special position in world culture, including in the archipelago, especially Java.This presentation will discuss wanaspati, a botanical entity that has cultural value in the areas that have been influenced by Indian culture. Literally, wanaspati means ‘lord of the forest’, but terminologically, wanaspati refers to a group of woody plants that have fruit but do not flower. This group includes most plants in the Ficus genus, such as banyan (Ficus benjamina), bodhi (Ficus religiosa), etc. This genus is mentioned in Ayurvedic texts. It is believed to have healing efficacy for a number of diseases. Several types of Ficus are even known to be one of the largest oxygen producing plants (Mitra et al. 2017). That felt very special. Moreover, we also inherited the narrative about prince Siddhartha who gained enlightenment after meditating under the bodhi tree, one of the wanaspatis.
Meanwhile, Java, one of the “Indianized” regions in the archipelago, has an interesting story related to the word wanaspati. In an Old Javanese prose work entitled Agastyaparwa, the word wanaspati refers to two different things. The first refers to the group of plants with the same name as mentioned in the Ayurvedic texts above. Meanwhile, the second refers to a type of demonic creature. In subsequent developments in the New Javanese tradition, the term wanaspati—which is called as banaspati—always refers to the particularly demonic creature. The definition of wanaspati as a type of plant has almost been completely forgotten. However, that demonic creature was originally still associated to forests and trees. For example, banaspati is a ghost in the form of a head attached to a tree. If you look at the literal meaning, the territory of this demonic creature is the forest.
So, why did such a semantic change occur? Now we may have lost track of it, but it doesn't mean we can't predict the answer for that question. Wanaspati is the kind of tree that has ecological value. Likewise, forests are oxygen suppliers, they are able to control carbon dioxide levels in the atmosphere, and also they store water supplies that humans really need. The narrative and myth about banaspati as a demonic creature is probably an attempt by traditional Javanese society to protect the forest and its trees.
*
Perubahan iklim adalah permasalahan global yang tengah menghadang. Pemicunya bukan lagi berasal dari alam, melainkan aktivitas manusia pasca Revolusi Industri akhir abad ke-18. Emisi karbon dioksida (CO2) terjadi secara berlebihan, sementara laju deforestisasi juga semakin tidak terkendali. Bumi membutuhkan hutan beserta pohon-pohonnya sebagai penjaga bumi dari pemanasan global akibat efek rumah kaca. Selain itu, hutan dan pohon-pohonnya telah menjadi penyokong kebutuhan dasar manusia akan oksigen (O2) dan air (H20). Itulah mengapa, pohon selalu memperoleh posisi istimewa dalam kebudayaan dunia, tidak terkecuali di Nusantara, khususnya Jawa.
Presentasi ini akan membahas vanspati, entitas botani yang memiliki nilai kultural di wilayah-wilayah yang tersentuh pengaruh India. Secara harafia, vanaspati berarti 'penguasa hutan', namun secara terminologis, vanaspati adalah kelompok tanaman berkayu yang memiliki buah namun tidak berbunga. Kelompok ini meliputi tanaman-tanaman bergenus Ficus, seperti beringin (Ficus benjamina), bodhi (Ficus religiosa), dll. Genus ini disebutkan dalam teks-teks Ayurveda karena diyakini memiliki khasiat menyembuhkan sejumlah penyakit. Beberapa jenis Ficus bahkan diketahui sebagai salah satu tumbuhan penghasil oksigen terbesar (Mitra et al. 2017). Hal itu terasa sangat istimewa. Apalagi kita juga mewarisi narasi tentang pangeran Siddhartha yang memeroleh pencerahan setelah melakukan meditasi di bawah pohon bodhi, salah satu vanaspati.
Sementara itu, di Jawa, salah satu wilayah yang mengalami “indianisasi”, memiliki cerita menarik terkait kata vanaspati ini. Dalam sebuah karya prosa Jawa Kuno yang bertajuk Agastyaparwa, kata vanaspati merujuk kepada dua referen yang berbeda. Pengertian pertama merujuk kepada kelompok tanaman dengan nama sama sebagaimana disebutkan dalam teks-teks Ayurveda di atas. Sedangkan pengertian kedua merujuk kepada salah satu jenis makhluk demonik. Pada perkembangan selanjutnya dalam tradisi Jawa Baru, istilah vanaspati (atau banaspati) selalu merujuk kepada makhluk demonik. Pengertian vanaspati sebagai jenis tanaman nyaris benar-benar terlupakan. Walaupun demikian, makhluk demonik itu awalnya masih terkait dengan hutan dan pohon. Seperti, misalnya, banaspati adalah hantu berwujud kepala yang menempel di pohon. Apabila melihat pengertian harafiahnya, wilayah kekuasaan makhluk demonik itu adalah hutan.
Lantas, mengapa terjadi perubahan semantik seperti itu? Saat ini mungkin kita telah kehilangan jejaknya, namun bukan berarti kita tidak dapat memperkirakan jawabannya. Vanaspati adalah pohon besar yang punya nilai ekologis. Demikian halnya dengan hutan yang menjadi penyuplai oksigen, pengendali kadar karbon dioksida di atmosfer, serta penyimpan pasokan air yang sangat dibutuhkan manusia. Narasi dan mitos tentang banaspati sebagai makhluk demonik mungkin adalah upaya masyarakat Jawa tradisional untuk melindungi hutan serta pohon-pohonnya.
Period | 23 Sept 2023 |
---|---|
Event title | Airlangga Webinar on Climate Change in Philology Study |
Event type | Seminar |
Location | Surabaya, IndonesiaShow on map |
Degree of Recognition | International |
Keywords
- wanaspati
- ecology
- Indic culture
- Javanese culture
- semantic change